6/07/2015

Sang Bintang dan Kucing Betina

Selamat malam, Bulan, Bintang, Awan, dan jajarannya. 

Dan, oh, ya. Selamat malam, Matahari. Tenang saja, aku masih ingat kamu kok. Walaupun kamu rela tak terlihat demi terlihatnya sinar bintang lain (Ya, dia masih sebangsa denganmu kan? Kalian sama-sama bintang sebenarnya) di gelap malam. Bahkan kau membuat bulan terlihat hebat, cerah, padahal bulan tidak bercahaya. Itu cahayamu, kan, Matahari?

----

Mari sejenak kita lupakan tentang bintang, matahari, malam, dan omong kosong (menurutmu, mungkin) tentang cahaya... dan kembali pada kehidupan nyata. Masih dengan: perkuliahan. 

Dunia perkuliahan, bagi gue, adalah hal yang berbeda dari SMA. Berbeda dari sekedar masuk sekolah tiap pagi, pake seragam yang sama tiap minggunya, duduk di tempat yang sama dengan chairmate yang sama, ke kantin dengan orang yang sama, ke musholla dengan orang yang sama, ke toilet ditemenin, ke tempat les dengan orang yang sama, berharap pada orang yang sama... (terserah kalo mau baper atau enggak).

Yang jelas beda. Dari segi kesibukkan pun udah beda jauh. Pertama, jadwal kuliah lo gak tentu. Bisa masuk pagi, siang, atau sore. Durasi perkuliahan pun bervariasi sesuai SKS. Bahkan kapan kuliah aja tergantung dosen. 

Tapi gue bersyukur, setelah melewati satu semester, ternyata gue masih mampu bertahan dengan nilai yang alhamdulillah baik (yang bahkan gue sendiri tidak mentargetkan untuk mencapai IP setinggi itu---ya, bagi gue tinggi, gak tau bagi kalian gimana)

Coba kita tengok ke sisi selain akademik: Organisasi. Satu hal yang sangat membuat gue bersyukur adalah gue bisa gabung sama 12 pejuang tangguh lainnya di Keluarga Fawndelion. Yes, mungkin kalo udah ada yang pernah denger, Fawndelion itu nama untuk Sosmas BEM IM FKM UI 2015. Dari dulu gue memang sudah punya passion di bidang sosial. Mungkin beberapa dari kalian (no way, kayaknya gak ada deh) udah ada yang pernah baca postingan gue tentang penggalangan buku gitu. Dan dari posting tersebut, tanpa gue sangka-sangka, gue justru mendapat email dari seseorang yang memang punya passion di bidang sosial. Dari situ kita berteman :) 

Senangnya. Ternyata bahagia sesimpel itu. 

Passion itu memang sebaiknya disalurkan pada hal yang tepat. Dan gue merasa menemukan rumah gue yang ke-sekian di Fawndelion. Mungkin di SMA, gue gatau harus ngapain kalo emang peduli sama masyarakat. Di SMA belum ada tuh yang namanya sosmas atau pengmas di organisasi apapun. Apalagi gue ikut Perwakilan Kelas pas SMA (kayak MPK gitu) yang atmosfernya sangat political. Tapi di kuliah, lo bisa lebih mengeksplorasi diri lo lagi, ya gak? (Ya, gak, kakak-kakak?)

Di sosmas lah gue tau kalo emang ini tempat gue berada. Karena gue juga sudah cukup menjelajah "minat" gue di beberapa hal. Yes, gue minat di banyak bidang lain. But not that much, sampe lo rela capek secapek-capeknya, dan masih sempet-sempetnya senyum. Kalo ditanya capek apa enggak: ya gue jujur, emang capek. Tapi capek yang kayak gimana dulu? Capeknya produktif gak? Capeknya bikin bahagia gak? Ini lah yang gue suka dari kegiatan sosmas/pengmas. Secapek-capeknya pasti kita senyum. Dan yang bikin senyum kita tambah lebar adalah: kita tau kalo kita gak sendiri. 

Misalnya waktu pertama kali gue jadi volunteer yaitu di FKM UI Peduli 10. Mungkin kalo dibayangin sendiri males juga. Ke Sukabumi perjalanan minimal 8 jam. Homestay di rumah warga yang sama sekali kita gak kenal. Penyuluhan ini, itu, belum tentu warganya peduli. Tapi pas gue jalanin bareng-bareng volunteer dan panitia yang jumlahnya sekitar 100 orang lebih... itu lah kebahagiaan. Senyum :) 

Pengalaman jadi volunteer banjir Jakarta pun gue rasakan dua kali bersama UI Peduli, yaitu kegiatan operasi pasca banjir Jakarta Februari lalu. Gak, gak, bukan operasi yang masuk ruang operasi. Tapi kita semacam mengadakan pengobatan gratis, pembagian obat gratis, dan menghibur anak-anak korban banjir. Kalo gerak sendiri, emang bisa? Yang bikin "bisa" dan "kuat" adalah karena gue berangkat dengan banyak volunteer lainnya dari berbagai fakultas (yang jumlahnya gue lupa berapa tapi yang jelas sampe 2 bis kuning). Gak sendiri, kan? Senyum :)

Dan kegiatan sosial lainnya berlanjut gue jalani bersama Fawndelion. Mulai dari seminar kebencanaan, donor darah, rumah belajar dan kakak asuh di Kampung Lio, penggalangan dana tiap bulannya, ngebangun FKM UI Peduli 11 dan Dusun Binaan di Kampung Lio, hingga merancang Bakti Sosial buat maba--dimana amanah tersebut jatuh ke gue sebagai Project Officer.

Kadang di luar Fawndelion gue juga menerima tawaran bakti sosial di daerah lain dari alumni sosmas, but that's okay. Karena gue gak sendiri. Mungkin kalo dipikir-pikir males juga ya ngurusin orang lain toh diri kita juga belom bener. Tapi kalo kita gak gerak sekarang, kapan lagi? 

Gue jadi inget pertanyaan senior gue waktu SMA pas tau gue gabung Ngobrolin Ide-nya Sinergi Muda. "Kok lo mau sih ikutan beginian? Kan gak dibayar." Dengan gampangnya gue ngejawab, "Kalo nunggu lulus lama." Ya, gue merupakan salah satu dari sekian orang yang menganggap kalo lo mau buat perubahan, gak perlu tuh nunggu ijazah keluar. Gak perlu nunggu jadi sarjana. Disaat lo masih bisa buat perubaham, sekecil apapun, lakukanlah. Mungkin efeknya gak besar, tapi lebih baik dari sekedar memaki pemerintahan. (Dan doakan agar kami (golongan ini) konsisten dengan alasan yang menjadi semangat kami bergerak.) 

Kembali lagi tentang kebersamaan. Kadang suka ngerasa sih, "Duh capek banget ya." Tapi cuma sepersekian detik karena detik selanjutnya gue sadar, gue gak pernah sendiri. Untungnya gue tumbuh di lingkungan yang memiliki minat bervolunteer cukup baik, jadi gue gak pernah sendiri. Terbukti dari donor darah di FKM yang selalu ramai dikunjungi warga FKM sendiri, penggalangan dana tiap bulannya yang walaupun tidak banyak tapi hasilnya lumayan lah untuk disumbangkan. Dan lainnya. 

Sedikit bercerita, waktu itu gue bakti sosial ke daerah Rumpin, Bogor Barat. Saat perjalanan dari rumah, gue jalannya sendiri ke Stasiun Tanah Abang. Disitu gue masih mikir, "Males banget yak hari minggu pagi, tugas numpuk, dan gue udah ngurusin orang lain." Sampe di Stasiun Tanah Abang, gue bertemu dengan volunteer lainnya, bahkan ada dari fakultas lain. Gue malu buat gak semangat, disitu gue memutuskan, "Let's enjoy our trip." Saat tiba di Stasiun Cisauk, gue melihat sebuah komunitas yang sedang berkumpul (terlihat dari bajunya yang samaan). Gue mikir, "Siapa ya mereka? Mau kemana?" Saat perjalananan dari Cisauk ke lokasi, gue bertanya pada orang yang memang mengajak gue untuk ikut di bakti sosial ini. "Emang mereka siapa?" Ternyata mereka adalah komunitas KontraS yang juga ke daerah sekitar situ untuk bakti sosial. Disitu saya tidak "kadang merasa sedih", tapi disitu saya selalu tersenyum. Ya, momen-momen dimana lo tau kalo lo gak sendiri. Menyenangkan mengetahui yang bergerak untuk masyarakat tidak hanya saya atau kami, tapi kita. Senyum :) 

---
Pernah kah kalian mendengar tentang Lifecycle of The Sun? Bahwa Matahari tidak selamanya akan bersinar. Bahwa ada kalanya Matahari harus kolaps dan kembali menjadi benda angkasa kecil dan tidak penting, dwarf. Tak selamanya Matahari mampu menyinari bumi dan bulan. Ada kalanya bulan harus bersinar sendiri jika tetap ingin dilihat. Ada saatnya bintang lain dapat dilihat tanpa menunggu Matahari tenggelam di ufuk barat. Dan disaat itulah Matahari sudah mati tanpa cahaya. Dan akhirnya kita sadar bahwa Matahari hanyalah kurcaci keci nan hitam, dan tak penting untuk disanjung-sanjung lagi.

----

Akrab dipanggil Bunda. Sampai sekarang gue bahkan gak tau nama aslinya siapa. Beliau adalah ibu dari kak Wanda. Nah, Kak Wanda atau yang akrab dipanggil Kak Wawa ini lah yang mungkin sudah banyak orang kenal. Kak Wawa adalah pendiri dari @Wafel_ID. Sebuah komunitas dengan semangat melestarikan lagu anak-anak. Kak Uma yang merupakan Kadept Sosmas BEM IM FKM UI 2013 yang ngenalin gue dengan Kak Wawa dan ibunya. Kak Uma dan Kak Wawa adalah orang-orang yang keren banget, dan sosok yang akrab dipanggil Bunda? Luar biasa.

Pada pertemuan terakhir, yaitu saat Bakti Sosial Kesehatan Gigi dan Mulut, Bunda bercerita bahwa ia sempat mengenyam pendidikan di Amerika dan belajar tentang statistik. Ia mengatakan bahwa kalimat, "Sebaik-baiknya manusia ialah yang bermanfaat bagi orang lain" dapat dibuktikan secara statistik. Begini penjabarannya:

Anggap 0 adalah kita, dan 1 sebagai Allah. "Satu. Allah. Ahad." Begitu katanya.
Disaat kita menaruh diri kita lebih dahulu dari Allah, apa yang terjadi? 01. Hasilnya 1. Atau bahkan 0,1? Angka yang kecil bukan?

Bagaimana jika kita mendahulukan Allah di hidup kita? 1 dan 0. 10. Lebih besar dari 1, kan?

Bagaimana jika ada 0 lainnya--disini berarti sebagai manusia lainnya--? Coba kita taruh Allah di posisi awal

1

lalu posisi selanjutnya kita

0

ya, jadi 10.

Ingin nilai yang lebih besar? Taruhlah 0 yang banyak sebelum 0 sebagai diri kita.

1 (Allah) 00000000000000000 (orang lain) 0 (diri kita)

ya, jadi 1000000000000000000.

Artinya, saat kita mendahulukan kepentingan orang lain di atas kepentingan pribadi kita, dan Allah sebagai yang nomor satu, kita tidak tahu apa yang akan terjadi. Melebihi batas logika kita. Nilai kita tak terhingga. Atau bahkan tak ternilai? Volunteers are priceless

---
Kembali tentang Matahari dan takdir kematian sinarnya, pernahkah terlintas di benak kalian kalau mungkin Matahari bukanlah matahari yang kita kenal sejak awal? Matahari hanyalah dwarf. Kurcaci yang kemudian mendapatkan anugerah dari Tuhan. Lalu ia memutuskan untuk menggunakan anugerah itu untuk menyinari yang lain: bumi, bulan, dan bahkan rela bersembunyi agar yang lain juga terlihat: bintang, meteor. Ya, Matahari tidak sehebat yang kita pikir. Matahari hanyalah kuraci! Pantaslah ia menjadi sang kurcaci kembali. 

Sehebat apapun Matahari, ia hanyalah kurcaci. Ia tak lebih hebat dari benda langit lainnya. Maka dari itu, ia tak butuh pujian. Pujian hanya membuatnya lemah!

Namun, sekecil apapun sang kurcaci itu, ia mampu memanfaatkan segala anugerah yang Tuhan berikan padanya. Hingga mampun menjadi sebesar Matahari. Dan walaupun sudah sebesar itu, sang kurcaci pun tahu diri. Ia membagi-bagikan sinar yang dimilikinya ke pohon, rumput, hewan, manusia... Dan bahkan ia rela untuk bersembunyi sementara agar saudara-saudaranya seperlangitan dapat dilihat dan disanjung manusia tiap malam. Manusia yang gemar mendewakan dan mengkurcacikan. 

Walaupun sebenarnya sang kurcaci sadar. Atas tindakannya menyinari benda langit disekitarnya, ia akan kehilangan kekuatannya perlahan. Ia rela. Tak apa. Toh aku hanya kurcaci kok, pikirnya. Ia rela meledak dan kehilangan reputasi sebagai pemberi cahaya. Kembali menjadi kurcaci hitam tak dianggap.

Baginya: Dulu kurcaci, nanti juga tetap kurcaci. Diantaranya, jadilah Matahari. 

Apakah ini benar? Entahlah. Kalau pun saya bilang ini benar, kalian tidak akan percaya kan? Anggaplah ini fiksi. Tapi coba kita belajar dari kisahnya.

---
Terus, apa hubungannya tulisan ini dengan Kucing Betina?

Tidak, Sang Bintang itu bukan gue.

Dan kucing betina itu bukan Miku (kucing gue).

Gue hanyalah kurcaci.
Dan Miku bukan kucing yang gue maksud.

Tapi judul posting kali ini hanya terinspirasi dari pemandangan yang gue lihat di taman dekat rumah malam ini. Kucing betina, yang mengeong dalam kesendiriannya, memandang satu bintang di langit yang juga kesepian tanpa teman. Mereka seolah saling bercerita kisahnya masing-masing. Aku di bumi, di tempat yang katanya seperti surga, tapi aku sendiri. Aku di langit, di tempat yang katanya dekat dengan surga, tapi aku sendiri. Apa daya jika saling sendirian?

Banyak senyum sendirian dikira gila. Banyak senyum sama temen dibilang naksir. Tapi banyak liat senyum orang lain karena perbuatan kita, itu bahagia. 

Lalu, hubungan dunia perkuliahan dengan ini semua?

Dunia perkuliahan melatih sang kurcaci menjadi matahari. Matahari yang terpaksa jauh dari bintang lainnya. Sendiri, dekat bumi. Yes, di kuliah udah gak kayak SMA. Menjadi sendiri adalah hal yang biasa.

Dan tidak, kucing betina atau bintang yang kesepian itu bukan gue. Atau mungkin iya.

Love,
Gita 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar