12/13/2013

Abu-abu

Selamat.. dini hari.

02:26

It's been a long time since my latest post. It's not that I'm THAT busy.

Hanya kelas 12 yang begitu menyesakkan. I feel both happy and sad for my last year on High School.

Anyway, being a 12th grader is so much more than just being "ngambis", smart, etc. It's more being idealist.

Ah, sudahlah, saya sedang tidak ingin membahas itu.

Kejenuhan belajar di kelas 12 pun gue tebus dengan banyak baca novel di waktu senggang. Waktu senggang yang gue maksud adalah: tidak ada ulangan, tugas, atau hal-hal mengganggu lainnya. Which is, "waktu senggang"-nya berarti minim sekali.

Entah kenapa, jarangnya gue mendapat waktu senggang, membuat gue sangat memaanfaatkan waktu senggang tersebut. Entah kenapa, novel yang wajar dibaca 3 hari atau seminggu, bisa gue baca 1 hari atau maksimal 2 hari.

Enggak, gue gak baca cepet. Takut-takut melewatkan bagian yang justru memberi makna baru dalam membaca.

Gue bacanya non-stop. Seperti takut, kalau-kalau waktu senggang itu seketika hilang.

Kalo udah baca, kadang gue terlalu tenggelam sama kisah di buku yang saat itu dipegang. Gue kuat baca buku 6-9 jam. Hanya keluar kamar waktu ke Toilet. Makan pun gue bawa ke kamar, dan sambil baca. Kalo udah gak kuat banget, gue akan ketiduran sekitar 1-2 jam.

Gue.. Gue hanya gak bisa berhenti. Kadang gue gak tidur nyenyak karena masih penasaran sampe akhir cerita. Aneh rasanya tidur sebelum menuntaskan "sesuatu".

Dan novel-novel yang mendapat perhatian khusus itu adalah beberapa buku dari Dewi Lestari, satu buku dari Nh. Dini, satu buku dari Ayu Utami.

Mereka gila.

Kadang gue gak bisa menilai suatu karangan fiksi "Bagus" atau "Tidak bagus", yang ada hanyalah: penulisnya "Gila" atau "Sangat gila".

"Gila" disini gue artikan sebagai sesuatu yang positif, yang unik, berani, tapi manis. Dan yang utama: seperti secangkir kopi, nagih.

Mungkin gue gak akan bahas satu persatu bacaan itu di posting kali ini. Mungkin gue akan membahasnya di posting lain secara terpisah. Mungkin..

Tapi yang jelas, setiap selesai membaca, gue selalu merasa: terlahir. Itu sensasi yang selalu gue nikmati setiap selesai membaca, menonton film, dan keluar bioskop ―tentunya sehabis menonton film, hanya saja sensasinya lebih hebat dibanding nonton DVD.

Gue akan selalu memandang dunia berbeda setiap kali selesai membaca. Selalu terlahir dengan beribu bayang-bayang tentang tokoh fiktif. Berkali-kali gue mencoba mengingatkan diri gue "Mereka fiktif!". Sulit. Alam bawah sadar gue terlalu mempercayainya. Mempercayai segala maksud penulis untuk akhirnya buku itu sampai pada tangan gue.

Kami seperti dipertemukan oleh waktu.

Untuk apa?

Untuk menimbulkan tanda tanya baru dalam diri gue.

Jadi, sebenarnya gue siapa? Apa peran gue dalam dunia ini? Ya, kalau-kalau konsep dunia sama seperti buku, dan Tuhan adalah Penulisnya.

Terkadang, hidup ini begitu abu-abu. Terlalu pudar untuk ditebak.

Jadi apa nanti?
Kemana semua ini berakhir?

Tapi terkadang gue salah menilai abu-abu.

Abu-abu juga warna.
Dia telah menyatakan eksistensinya sebagai warna abu-abu.
Abu-abu ternyata masih terdefinisi.

Jadi, apa ya yang tak terdefinisi? Apa yang dapat mendefinisikan segala kegamangan akan hidup ini? Segala ketidaktentuan ini.

Apa ketidaktentuan itu sendiri?

Atau jangan-jangan, seperti banyak orang mengatakan, yang pasti adalah ketidakpastian?

Karena abu-abu juga warna. Antara hitam dan putih, tidak jelas. Tapi pasti adanya. Jelas. Abu-abu.

Like what I feel right now about you. I don't even know how it actually feels. Could you please just let me go? I know, this happiness won't last for a long time. You'll go again and left me hanging here with all the broken hopes. Why do I know? Gosh, it's the cycle, isn't it?

Abu-abu juga warna.

Selamat tidur dan selamat berlibur,
Gita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar