4/01/2018

Awalan

Pernah gak merasa aneh dengan fenomena orang-orang yang berada di sekitar kita? Maksudku, bisa jadi orang yang paling kamu sayang tahun lalu menjadi orang yang paling kamu benci tahun ini. Dan orang yang paling kamu benci tahun lalu... menjadi...

***

Kita sebut saja pria dengan tinggi 180 cm dan berat sekitar 70 kg ini adalah Mas. Aku bertemu dengan Mas sebenarnya sudah sejak tahun 2016 awal. Lihat saja sih. Gara-gara temenku yang kasih tahu, "Liat deh, dia Mas. Menurutmu bagaimana?" Aku pikir, dia oke juga. Tampilannya rapih, kacamatanya juga stylish. Saat itu Mas menggunakan kemeja putih dan celana coklat. Entah kenapa aku berpikir bahwa selera fashionnya cukup baik. Mas tidak menengok ke arahku sedikitpun. Dia sibuk bercengkrama dengan teman-temannya, dan aku dengan teman-temanku.

Saat itu fokusku justru tidak pada Mas. Tapi orang lain. Yang juga menggunakan kemeja putih dan celana coklat. Dia yang mencuri hatiku, sekaligus membawa kabur kebahagiaanku. Ya, dia yang brengsek dan justru menyia-nyiakanku. Mari tutup buku dengannya.

Setelah hampir setahun, di akhir tahun 2016 aku kembali memperhatikan Mas. Setelah berbulan-bulan sejak aku melihatnya di awal tahun. Tapi yang membuat aku memperhatikan Mas adalah karena aku benci dia! Aku benci. Pokoknya benci. Ada alasan? Tidak! Pokoknya tidak suka saja. Pernah kan suka sama orang tanpa alasan? Nah ini benci sama orang tanpa alasan! Bahkan aku sampai mengajak sahabatku untuk ikut membencinya. Setiap dia tampil di publik, aku tidak suka melihatnya. "Cih, pencitraan!" di saat yang bersamaan aku juga sedang patah hati. Apa kebencianku merupakan pelampiasan patah hati? Entahlah.

Di akhir tahun 2016 aku bahkan mendebat Mas di suatu acara. Mas tidak suka, aku pun begitu! Siapa yang suka! Ih, menyebalkan! Pokoknya Mas adalah orang yang menyebalkan. (Walaupun di tengah tahun aku sempat stalking IG Mas dan menganggapnya keren juga).

Di akhir Desember 2016, Mas memberi pesan singkat lewat Line kepadaku (dan seluruh teman-teman organisasiku). Sebuah pesan permintaan maaf. Di akhir pesan, Mas menambahkan: "Ditunggu di organisasi gue!" Hmm dan aku hanya membalas dengan tertawa. Apa? Satu organisasi sama Mas? Gak mau! Pokoknya enggak! Tapi ternyata iya...

Pada suatu malam aku datang ke tempat organisasinya, Mas menyodorkan tangan untuk mengajakku berkenalan. "Hai, Gita, ya? Aku Mas. Kita belum kenalan secara official loh." Mas menyodorkan tangannya. Selama beberapa detik tangan itu menganggur. Aku tinggalkan dia kebingungan karena aku pun bingung. Apa aku harus menerima jabat tangannya? Temanku sampai menepis tangan Mas, beranggapan aku tidak mau menyambut tangan Mas karena bukan muhrim. Sedetik temanku menepis tangan Mas, entah kenapa tubuh refleks langsung menyambut salam hangat itu. Kita berkenalan, secara official.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar