1/23/2015

Oleh-Oleh dari Langkapjaya

Halo! Jadi, ini oleh-oleh yang gue bawa dari Peduli Desa 10! Sempatkan waktu sebentar untuk membaca, dan iri lah kalian sama gue! Hahaha.

PENGABDIAN: SATU KATA PEMANTIK SEMANGAT
Oleh Gita Kartika Ramadhani, relawan Dusun Tugu Desa Langkapjaya Peduli Desa 10

Tak  sangka. Itulah dua kata yang menggambarkan perasaanku saat pertama kali menginjakkan kaki di bus yang akan membawa segenap panitia dan relawan Peduli Desa 10 menuju Desa Langkapjaya, Sukabumi, Jawa Barat. Tepat 5 hari sebelum keberangkatan kami, kondisi kesehatanku sangat buruk, hingga dokter menyarankanku untuk mendapatkan perawatan inap di Rumah Sakit. Namun sekarang, disinilah aku. Dalam kapsul besar beroda menuju sebuah desa di balik bukit dan jalan yang berliku: Langkapjaya.
***
Jika harus bercerita tentang duka menjadi relawan Peduli Desa, akan kujawab dengan ini: Kulit kalian akan semakin gelap dan kering, mungkin kalian akan jadi lebih kurus, dan yang tidak tahan cuaca dingin akan flu, tidak ada sinyal, jarang mandi karena air sering habis dan listrik sering padam, mengalami pengalaman spiritual yang tidak menyenangkan, dan hal-hal buruk lainnya. Namun, apa secepat itu kita menyimpulkan sebuah pengabdian? Lalu, bagaimana dengan cinta, kepedulian, dan kebersamaan yang dijanjikan?

Selama di Langkapjaya, aku dan 5 relawan lainnya menginap di rumah Bapak Yana dan keluarga. Rumahnya sederhana, tidak sebagus dan sekokoh rumah Bapak Kepala Dusun. Bahkan kamar mandinya tidak berpintu! Hanya ditutupi tembok asal-jadi setinggi pundak remaja desa. Tapi saat mengenal keluarga Bapak Yana lebih dalam, aku malu. Aku merasa belum bermanfaat.
Bersama Ibu Esih (istri Pak Yana) dan Sinta (anak ke-3) serta Hilda (keponakan Pak Yana)

Profesi Pak Yana adalah guru SMP yang lokasi sekolahnya 14 km. Beliau juga sering meminjamkan rumahnya untuk para ABRI menginap untuk berlatih di hutan dekat situ. Di akhir obrolan kami, istri Pak Yana—Ibu Esih—menambahkan bahwa Pak Yana yang mendirikan MTs Anak Bangsa. Sebuah sekolah kecil yang kondisinya memprihatinkan. Tapi ada cahaya itu di Pak Yana: cahaya harapan untuk generasi penerus bangsa.

Sempat juga aku dan 8 orang relawan lainnya mengadakan intervensi di MTs tersebut. Kami mengadakan intervensi remaja mengenai kesehatan reproduksi dan motivasi pendidikan. Agak kaget saat intervensi kespro, melihat pertanyaan siswa-siswi yang masih sangat dasar seperti, “Apa itu pubertas?” disaat mereka sudah mengalami hal tersebut beberapa tahun lalu. Peluang pertama, pikirku.
Selesai intervensi remaja MTs Anak Bangsa

Peluang kedua kami dapatkan saat mengetahui bahwa kebanyakan siswa tidak memiliki mimpi terhadap desanya. Mungkin jika ada, mereka hanya menganggapnya sebagai igauan di siang hari. Penyuluh tidak patah semangat, justru ini lah saat untuk menebar manfaat; memotivasi mereka untuk berani bermimpi! Dan hasilnya, di akhir acara mereka menuliskan mimpi pribadi dan mimpi terhadap desa mereka. Tak segan mereka meneriakkan cita-cita mereka.

“Aku ingin jadi polwan!”

“Aku ingin jadi dokter!”

“Aku ingin bangun jalan tol, jadi tidak susah kalau ke sekolah.”

“Bangun lapangan bulu tangkis!”

Kami terharu. Ternyata sedikit yang kami lakukan mampu melanjutkan cahaya harapan yang dimulai oleh Pak Yana.
Mimpi-mimpi mereka jadi mading di kelas mereka yang sederhana

Kemudian aku sadar bahwa mereka—anak-anak Desa Langkapjaya—adalah kita. Mereka seharusnya juga dapat bersekolah dengan akses yang mudah. Bayangkan, siswa SD harus berjalan sejauh 2-3 km setiap harinya untuk mencapai sekolah! Disaat kami terkejut, “Hah?! Tiga kilometer?!”, Pak Yana hanya berkata, “Yah, paling cuma tiga kilometer.” Jika lelah berjalan, bisa menumpang truk yang mengangkut warga desa ke jalan raya. Itu pun jika tidak kesiangan, seperti Cici yang  gagal ikut try out UN SMA karena ketinggalan truk yang lewat.

Padahal, Desa Langkapjaya sangat unggul sumber daya alamnya. Padi, kopi, teh, pohon karet, berbagai sayuran tumbuh disini! Bahkan, teh hijau produksi Langkapjaya mampu menembus pasar teh Jepang! Jangankan tanaman, batu pun menjadi uang! Di bukit dan gunungnya banyak ditemukan batu akik. Bahkan di sungai atau di sawah saat sedang membajak tanah, batu akik ini ada. Tak hanya batu, emas pun ditemukan di Langkapjaya!

Indonesia kaya, kata orang. Tapi sekarang aku sadar, Indonesia memang kaya. Tinggal bagaimana memperkaya sumber daya manusia dengan ilmu dan harapan untuk membangun bangsa.

Langkapjaya; sebuah proyeksi kondisi negeri. Kaya namun belum mampu mengelola. Dimana para pejabat negara disaat masih ada guru honorer 10 tahun yang hanya digaji Rp 400.000 per bulan? Sekecil itukah modal yang ditanamkan untuk menghasilkan generasi penerus—pengelola—bangsa?

Di titik ini hati kami tersentuh. Harus seberapa lama memperbaiki negara jika hanya berpangku tangan mengandalkan pemerintah? Sadarlah, mahasiswa. Selalu ada yang menunggu percikan manfaat kita dibalik kesempatan kuliah yang kita dapatkan.
11/01/2015 Pesta Rakyat 2015: Mantap euy!

Kebermanfaatan. Nilai keempat dari tagline Peduli Desa 10. Pemantik semangat kami. Seperti pesan ibuku sebelum aku berangkat, “Anak-anak Mama pintar. Tapi jika tidak ingin mengabdi, mau jadi apa bangsa ini?”

Pengabdian; klise kata orang. Pengabdian; apa lagi yang bisa kita lakukan?

Dengan cinta, kita berbicara.
Dengan kepedulian, kita bercengkrama.
Dengan kebersamaan, kita bergerak.
Dengan kebermanfaatan, kita bahagia


Terima kasih, Ya Allah, telah kau beri hamba kesempatan di umur ke-18 tepat 10 Januari lalu, untuk mencoba menebar manfaat di Peduli Desa 10. Kami luar biasa bahagia.  

***
Tunggu oleh-oleh lainnya dari gue!

Love,
Gita 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar