PENGABDIAN: SATU KATA PEMANTIK SEMANGAT
Oleh Gita Kartika Ramadhani, relawan Dusun Tugu Desa Langkapjaya Peduli
Desa 10
Tak sangka. Itulah dua kata yang menggambarkan
perasaanku saat pertama kali menginjakkan kaki di bus yang akan membawa segenap
panitia dan relawan Peduli Desa 10 menuju Desa Langkapjaya, Sukabumi, Jawa
Barat. Tepat 5 hari sebelum keberangkatan kami, kondisi kesehatanku sangat
buruk, hingga dokter menyarankanku untuk mendapatkan perawatan inap di Rumah
Sakit. Namun sekarang, disinilah aku. Dalam kapsul besar beroda menuju sebuah
desa di balik bukit dan jalan yang berliku: Langkapjaya.
***
Jika harus bercerita tentang duka menjadi
relawan Peduli Desa, akan kujawab dengan ini: Kulit kalian akan semakin gelap
dan kering, mungkin kalian akan jadi lebih kurus, dan yang tidak tahan cuaca
dingin akan flu, tidak ada sinyal, jarang mandi karena air sering habis dan
listrik sering padam, mengalami pengalaman spiritual yang tidak menyenangkan,
dan hal-hal buruk lainnya. Namun, apa secepat itu kita menyimpulkan sebuah
pengabdian? Lalu, bagaimana dengan cinta, kepedulian, dan kebersamaan yang
dijanjikan?
Selama di Langkapjaya, aku dan 5 relawan lainnya menginap di rumah Bapak
Yana dan keluarga. Rumahnya sederhana, tidak sebagus dan sekokoh rumah Bapak
Kepala Dusun. Bahkan kamar mandinya tidak berpintu! Hanya ditutupi tembok
asal-jadi setinggi pundak remaja desa. Tapi saat mengenal keluarga Bapak Yana
lebih dalam, aku malu. Aku merasa belum
bermanfaat.
Bersama Ibu Esih (istri Pak Yana) dan Sinta (anak ke-3) serta Hilda (keponakan Pak Yana) |
Profesi Pak Yana adalah guru SMP yang lokasi sekolahnya 14 km. Beliau
juga sering meminjamkan rumahnya untuk para ABRI menginap untuk berlatih di
hutan dekat situ. Di akhir obrolan kami, istri Pak Yana—Ibu Esih—menambahkan
bahwa Pak Yana yang mendirikan MTs Anak Bangsa. Sebuah sekolah kecil yang
kondisinya memprihatinkan. Tapi ada cahaya itu di Pak Yana: cahaya harapan
untuk generasi penerus bangsa.
Sempat juga aku dan 8 orang relawan lainnya mengadakan intervensi di MTs
tersebut. Kami mengadakan intervensi remaja mengenai kesehatan reproduksi dan
motivasi pendidikan. Agak kaget saat intervensi kespro, melihat pertanyaan
siswa-siswi yang masih sangat dasar seperti, “Apa itu pubertas?” disaat mereka
sudah mengalami hal tersebut beberapa tahun lalu. Peluang pertama, pikirku.
Selesai intervensi remaja MTs Anak Bangsa |
Peluang kedua kami dapatkan saat mengetahui bahwa kebanyakan siswa tidak
memiliki mimpi terhadap desanya. Mungkin jika ada, mereka hanya menganggapnya
sebagai igauan di siang hari. Penyuluh tidak patah semangat, justru ini lah
saat untuk menebar manfaat; memotivasi mereka untuk berani bermimpi! Dan
hasilnya, di akhir acara mereka menuliskan mimpi pribadi dan mimpi terhadap
desa mereka. Tak segan mereka meneriakkan cita-cita mereka.
“Aku ingin jadi polwan!”
“Aku ingin jadi dokter!”
“Aku ingin bangun jalan
tol, jadi tidak susah kalau ke sekolah.”
“Bangun lapangan bulu
tangkis!”
Kami terharu.
Ternyata sedikit yang kami lakukan mampu melanjutkan cahaya harapan yang
dimulai oleh Pak Yana.
Mimpi-mimpi mereka jadi mading di kelas mereka yang sederhana |
Kemudian aku sadar bahwa mereka—anak-anak Desa Langkapjaya—adalah kita.
Mereka seharusnya juga dapat bersekolah dengan akses yang mudah. Bayangkan,
siswa SD harus berjalan sejauh 2-3 km setiap harinya untuk mencapai sekolah!
Disaat kami terkejut, “Hah?! Tiga kilometer?!”, Pak Yana hanya berkata, “Yah,
paling cuma tiga kilometer.” Jika lelah berjalan, bisa menumpang truk yang
mengangkut warga desa ke jalan raya. Itu pun jika tidak kesiangan, seperti Cici
yang gagal ikut try out UN SMA karena ketinggalan truk yang lewat.
Padahal, Desa Langkapjaya sangat unggul sumber daya alamnya. Padi, kopi,
teh, pohon karet, berbagai sayuran tumbuh disini! Bahkan, teh hijau produksi
Langkapjaya mampu menembus pasar teh Jepang! Jangankan tanaman, batu pun
menjadi uang! Di bukit dan gunungnya banyak ditemukan batu akik. Bahkan di
sungai atau di sawah saat sedang membajak tanah, batu akik ini ada. Tak hanya
batu, emas pun ditemukan di Langkapjaya!
Indonesia kaya, kata orang. Tapi sekarang aku sadar,
Indonesia memang kaya. Tinggal
bagaimana memperkaya sumber daya manusia dengan ilmu dan harapan untuk
membangun bangsa.
Langkapjaya; sebuah proyeksi kondisi negeri. Kaya namun belum mampu
mengelola. Dimana para pejabat negara disaat masih ada guru honorer 10 tahun
yang hanya digaji Rp 400.000 per bulan? Sekecil itukah modal yang ditanamkan
untuk menghasilkan generasi penerus—pengelola—bangsa?
Di titik ini hati kami tersentuh. Harus seberapa lama memperbaiki negara
jika hanya berpangku tangan mengandalkan pemerintah? Sadarlah, mahasiswa.
Selalu ada yang menunggu percikan manfaat kita dibalik kesempatan kuliah yang
kita dapatkan.
11/01/2015 Pesta Rakyat 2015: Mantap euy! |
Kebermanfaatan. Nilai keempat dari tagline
Peduli Desa 10. Pemantik semangat kami. Seperti pesan ibuku sebelum aku
berangkat, “Anak-anak Mama pintar. Tapi jika tidak ingin mengabdi, mau jadi apa
bangsa ini?”
Pengabdian; klise kata orang. Pengabdian; apa lagi yang bisa kita
lakukan?
Dengan cinta, kita berbicara.
Dengan kepedulian, kita bercengkrama.
Dengan kebersamaan, kita bergerak.
Dengan kebermanfaatan, kita bahagia
Terima kasih, Ya Allah,
telah kau beri hamba kesempatan di umur ke-18 tepat 10 Januari lalu, untuk
mencoba menebar manfaat di Peduli Desa 10. Kami luar biasa bahagia.
***
Tunggu oleh-oleh lainnya dari gue!
Love,
Gita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar