8/16/2013

BUAT ICA

Hari-hari yang membosankan. Tubuhku terlalu kaku untuk kembali mengerjakan ini-itu yang tak kalah membosankan. Bangkit dari tempat tidur, menonton tayangan televisi, lalu mengecek kulkas, dan kosong. Menyalakan pendingin ruangan, dan kembali berbaring dengan bosannya. Mengapa hidupku yang harus kena sial?

Hoaam. Aku kembali membuka mataku, berharap terjaga di tempat yang berbeda dari flat apartemenku sehari-hari. Tidak; ternyata aku masih terkurung di tempat yang membosankan ini. Langit-langit kamar yang putih; kosong. Dinding-dinding flat yang sempit, seakan mengekangku untuk berkarya. Tidak; tidak seakannya. Ini benar-benar telah mengurungku. Rasanya aku lebih baik di penjara; bertemu dengan napi lainnya. Dibandingkan disini. Sendiri. Hidupku sama kosongnya dengan tiap-tiap ruang di flat sempit dan berdebu ini.

Masih terlentang di atas spring bed kaku dan bau baru, aku mencoba menggerakkan jemariku. Sedikit saja, tak kucoba terlalu keras menggerakkannya. Berharap mereka akan bergerak sendiri dan berbicara padaku. Seperti teman; menyapa, bercanda, tertawa. Seperti teman; mengisi kekosongan.

'TEEEET'

Bunyi bel itu memaksa bangkit tubuhku yang masih lemas; tak berjiwa. Kubuka pintu yang dilengkapi lubang kecil di tengahnya. Tak perlu aku mengintip siapa yang datang; sudah kutebak. Dia yang datang, mengantarkanku sekeranjang pakaian. Senyumku langsung merekah menyambutnya. Aku langsung mempersilahkannya masuk untuk menaruh beberapa keranjang pakaian di atas meja depan TV. Lalu dia keluar. Ada sedikit perasaan dihatiku yang tidak ingin ia pergi. Disini saja; menemaniku. Tapi aku langsung menyadari apa yang sedang terjadi dan buru-buru memberinya beberapa lembar uang Rp 5000. Dia sempat menolak, tapi aku memaksanya. Ia tersenyum dan berterima kasih, lalu pergi.

Lalu, kosong.

Aku lagi-lagi kosong. Sunyi. Hampa. Tenang. Diam. Kosong.

Bunyi pintu flat yang kututup segera membawaku kembali ke suasana yang tenang; sangat tenang hingga menyeramkan. Hinggar bingar dunia tak mampu menyentuh ruangan ini. Tak mampu mencapai diriku. Aku terlalu sepi. Bahkan untuk seorang pengantar cucian yang datang saja sudah cukup membuatku senang; sebentar. Lalu kosong lagi. Karena aku sadar, ia datang hanya sekedar menuntaskan pekerjaannya. Tak ada sama sekali niatannya untuk menemaniku; duduk bersamaku, tertawa berasamaku, mengisi hidupku.

Aku membuat secangkir kopi dan duduk di sofa abu-abu yang sama kelamnya dengan langit di luar. Aku menyalakan TV, namun tak ada harapan bagiku untuk tidak menonton berita-berita yang menyeramkan; anak yang membunuh ibunya, pendemo anarkis, perselingkuhan selebritis. Huft, aku sedikit merasa lelah walaupun sudah tidur seharian. Sambil mencoba mengabaikan TV yang berusaha menarik perhatianku dengan iklan-iklannya yang merusak arti seni dan komedi, aku meraih smartphoneku dan mencoba scroll down timeline salah satu jejaring sosialku. Tidak ada yang penting. Tidak ada yang mampu mencapai aku; diriku.

Rasa sepi ini semakin menusuk, hingga lambungku terasa perih; lapar. Aku bahkan sama sekali tidak bergairah untuk memasak, tentunya setelah tau bahwa tak ada persediaan lagi di kulkas. Perut ini memaksaku untuk membuat keputusan yang sangat berat, yaitu untuk makan di restoran bawah. Dan bertemu dengan orang-orang yang saling bercengkrama. Tidak. Bukan bertemu, tepatnya hanya melihat. Aku tidak pernah menjadi bagian dari kesenangan itu. Orang-orang itu terlalu sibuk dengan kesenangannya masing-masing; tak peduli dengan kesendirianku yang semakin meradang. Lalu aku harus makan sambil memandangi pasangan-pasangan bahagia itu?

Terpaksa.

Perutku yang semakin keroncongan ini membuatku bergegas berganti pakaian dan menatap sekilas tubuhku di pantulan cermin oval panjang di kamarku. Cekungan yang mulai tampak dalam di kedua pipiku tentunya merupakan tanda bahwa kesendirian ini telah melaparkanku. Terlalu lapar, hingga lupa makan. Atau terlalu sendiri, hingga malas bersantap?

Aku menaiki lift dan bertemu beberapa tetanggaku. Mereka tersenyum, menyapaku.

"Hai, gak ngantor?" Hanya basa-basi. Jelas saja, ini hari minggu.

Semua orang ini terlalu banyak berpura-pura. Atau aku yang terlalu malas bersuara?

Ini membuatku bosan, mengapa flatku harus berada jauh dari lantai dasar dan memaksaku berlama-lama berpura-pura tersenyum kepada orang-orang di dalam lift ini. Toh, senyumku nanti juga akan pudar. Berbeda dengan mereka, mereka tersenyum; bukan membuat senyum.

Aku mulai menyadari, walaupun aku punya beberapa saudara, kerabat, dan teman, aku tetap kosong. Jiwaku pucat. Lelah. Lapar. Perasaan ini begitu lapar akan setruman listrik yang membuatmu meloncat kegirangan saat mendengar namanya. Ya, orang yang membuat setruman itu. Jelas, aku tidak punya.

Rasa laparku semakin bergejolak ketika langkahku mulai mendekati restoran Jepang itu dan aromanya menggelitik hidungku. Aku langsung mencari tempat duduk favoritku; selalu disitu dan tak ada orang yang ingin merebutnya dariku. Satu meja dan satu kursi di pojok dekat dapur dan jauh dari keramaian orang-orang yang berlalu-lalang. Itu tempatku.

Namun, kaget bukan main saat aku melihat sepotong kue kecil di meja itu. Dan juga segelas besar Ocha, dan satu porsi besar Sushi yang terhias cantik dengan mayonaise diatasnya. Apa-apaan ini? Siapa yang berani merebut tempatku? Tak cukupkah dunia ini membuatku merasa sendiri? Geram bukan main yang kurasakan semakin aku mendekati meja itu. Ingin rasanya aku membanting dan melempar isi meja kayu yang tadinya favoritku.

Langkahku semakin tegas. Tapi kemudian lemas saat sampai ke meja itu. Aku melihat kertas kecil yang terselip diantara gelas dan piring-piring berhidangan lezat, tepatnya kertas itu terselip dekat kue kecil berhiaskan lilin diatasnya. Aku bingung. Aku meraih kertas itu dekat-dekat ke mataku. Lalu menjauhkannya. Lalu berulang kali mengulanginya hingga yakin aku tak salah baca. "BUAT ICA. HAPPY BIRTHDAY :)"

Aku punya firasat aku tak perlu capek-capek membuat senyum. Aku punya firasat aku akan benar-benar tersenyum; tanpa membuatnya atau memaksakannya. Aku punya firasat, pria yang tersenyum dari balik jendela dapur itu yang akan membuatku tersenyum; tidak sekedar membuatku membuat senyum. Aku punya firasat, pria itu yang akan mengecat ulang pelangiku. Pria yang selalu memperhatikanku diam-diam setiap aku duduk di bangku favoritku dan menyantap malas menu-manu lezatnya. Sekarang, pria itu berjalan kearahku dengan senyumnya yang bagaikan bulan sabit di antara malam. Aku janji, aku tak akan pernah bosan jika rutinitasku harus melihatnya, dan senyumnya.


Hehe maaf ya Ca hadiah dari gue cuma tulisan kayak gini. Semoga diumur ke17, lo makin sukses dan makin gaul ya Ca! Happy birthday @icanyssa :)
Gita - 9 Agustus 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar